Top Twenty of IWC 2012
TOP TWENTY OF IWC 2012
Hai, masih inget gak lomba esai yang waktu itu saya posting di entri yang judulnya 19 tahun di dunia? Nah ternyata pengumumannya sudah keluar! Sedih sih, karena pengumumannya menyatakan kalau saya belum berhasil, tapi walau begitu, saya akan tetap menepati janji dengan memposting esai yang alhamdulillah sudah masuk 20 besar nomor urut ke 5. Soooo cekidot...
Doc. Goodreadsdotcom |
Persepsi
Minat Baca Generasi Muda Masa Kini antara Robohnya Surau Kami dan Jangan
Main-Main (dengan Kelaminmu)Oleh: Karimah Iffia Rahman
Indonesia dengan tujuh
belas ribu pulau lebih miliknya sangat pantas untuk memiliki berbagai macam
budaya yang dihasilkan atas beragamnya pikiran, akal budi, adat istiadat.
Melalui perbedaan budaya inilah, beragam bahasa pun lahir pada saat
berinteraksi satu sama lain, pada saat bekerja, dan mengidentifikasikan
diri. Sejak saat itulah, budaya sastra
di Indonesia pun mulai berkembang dari generasi ke generasi.
Mulai dari angkatan Pujangga
Lama (sebelum abad ke-20), angkatan sastra Melayu Lama (1870-1942), angkatan
Balai Pustaka (1930-1942), angkatan Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan
1950-1960an, angkatan 1966-1970an, angkatan 1980-1990an, angkatan Reformasi,
hingga angkatan 2000an bahkan Cybersastra, dimana banyak karya sastra Indonesia
yang tidak dipublikasikan berupa buku namun tertuang di dunia maya.
Pembagian angkatan
seperti itu tentu boleh saja. Apalagi jika ada apresiasinya untuk sastra
Indonesia yang cukup signifikan. Tetapi yang lebih penting untuk diketahui
adalah bahwa sastra Indonesia dari masa ke masa mengalami perkembangan. Baik
dari peminat pembaca atau sastrawan itu sendiri.
Pada saat sastra melayu
lama, sastra ini mulai menyebar ke seluruh pelosok nusantara yang dibawa oleh
para pedagang. Penyebaran pertama kali disampaikan secara lisan. Baru setelah
mengenal tulisan, ditulislah karya-karya tersebut walau anonim.
Karena budaya
melayu lebih condong ke budaya arab, maka pesan yang disampaikan pun biasanya
berisikan hal-hal yang bersifat moral, pendidikan, nasihat, adat istiadat, dan
ajaran agama. Cara penulisannya pun terkungkung oleh aturan-aturan klasik,
khususnya sastra berbentuk puisi. Aturan-aturan tersebut masih meliputi masalah
seputar irama, ritme, persajakan, dan rima yang teratur.
Pada akhirnya, hal tersebut berdampak sama terhadap periode-periode selanjutnya, misalnya angkatan Balai Pustaka. Memang pada periode ini, sastra yang berkembang mendapat pengaruh dari kebudayaan Eropa. Maka pada periode ini lahir lah aturan-aturan karya sastra baru, diantaranya adalah roman, prosa, cerpen, drama, dan puisi. Contoh puisi yang bereformasi dari aturan klasik menjadi bebas tanpa ada ritme.
Lahirnya angkatan Balai
Pustaka ini juga sangat menguntungkan kehidupan dan perkembangan sastra di
tanah air karena banyak sekali merekam kehidupan pada zamannya. Hal ini pun
berlaku juga pada angkatan selanjutnya hingga angkatan 1945. Walaupun setiap
angkatan memiliki ciri dan gaya bahasa yang berbeda, namun kalimat disetiap
karya masih sulit untuk dipahami.
Kisah yang tertuang pun masih seputar hal-hal
yang lazim di masyarakat dengan amanat-amanat yang pada umumnya tidak
membicarakan sesuatu yang tabu yang menyangkut pada adat istiadat, pendidikan,
agama, dan sejenisnya. Di sinilah yang membuat persepsi generasi muda masa kini
merasa masih kesulitan dalam memahami inti cerita dan malas untuk mengkaji.
Bahkan untuk membacanya saja jika ada
tugas mata pelajaran atau mata kuliah Bahasa Indonesia.
Problematika Minat Baca Generasi Muda
Namun di sinilah
permasalahannya, walaupun perkembangan minat baca generasi muda Indonesia di masa
kini meningkat, akan tetapi masih banyak yang enggan untuk membaca karya sastra
lama. Hal ini dikarenakan minat baca merupakan sesuatu yang sangat subjektif.
Sehingga tingkat pemikiran individu yang menyukai bacaan-bacaan yang ringan,
gaya bahasanya mudah dipahami juga sangat berpengaruh terhadap minat baca
seseorang.
Tidak dapat dipungkiri, dengan adanya tradisi kutu buku yang ada di
Indonesia bahwa orang yang membaca hanya orang-orang yang sedang belajar, atau
bahkan orang yang membaca adalah orang yang tidak gaul. Hal itulah yang menjadikan
minat baca generasi muda Indonesia kurang. Apalagi jika objek yang dibaca
adalah karya sastra lama yang semua orang tahu bahwa ciri-ciri dari karya
sastra lama itu sendiri hanya dapat menarik minat segelintir hati pembaca kalangan
tertentu.
Tidak hanya itu,
rendahnya minat baca generasi muda masa kini juga disebabkan oleh rendahnya
minat menulis ‘berkualitas’. Padahal jika disadari, dengan membaca dan menulis
inilah kita dapat merubah dunia. Sayangnya, generasi muda saat ini hanya
sedikit yang minat terhadap membaca dan menulis. Mereka hanya tidak sadar
betapa pentingnya membaca dan menulis.
Kurangnya minat membaca inilah yang pada
akhirnya disadari oleh berbagai pihak membuat mereka miskin pengetahuan, baik
umum maupun lokal. Bahkan dengan kurangnya kebiasaan minat membaca ini
menyebabkan generasi muda di Indonesia tak sedikit yang kurang hafal terhadap
sejarah bangsanya sendiri. Padahal jelas sekali bahwa Bung Karno pun berkata “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”.
Robohnya Surau Kami
Contoh saja kumpulan
cerpen berjudul Robohnya Surau Kami karya AA. Navis angkatan 1980-1990an. Jelas
kumpulan cerpen ini merupakan salah satu karya anak bangsa yang patut di acungi
jempol karena mendapatkan respon positif dari para pembacanya karena isi
cerpennya yang sangat edukatif, gaya bahasanya indah, penuh makna, dan dengan
alur yang tidak mudah ditebak. Pemikirannya yang kritis pun juga dapat
dijadikan sebuah otokritik bagi setiap pemeluk agama-agama di Indonesia bahkan
di negara manapun.
Namun apa yang terjadi?
Banyak generasi muda yang malas untuk membaca kumpulan cerpen ini karena judul
kumpulan cerpen ini yang terlihat religius tampak tidak menarik perhatian
generasi muda. Walaupun mungkin generasi muda masa kini tahu bahwa kumpulan
cerpen ini adalah kumpulan cerpen yang berbobot, berkelas, tidak mudah ditebak
dan penuh cermin untuk introspeksi diri.
Selain dari judulnya, hal
yang pertama kali muncul dalam pikiran mereka setelah judul adalah tema. Dengan
judul yang religius seperti itu, banyak generasi muda terpengaruh oleh
pikiran-pikiran yang termindset oleh judulnya. Padahal tidak
semua isi dari kumpulan cerpen ini bernilai religius. Nilai sosial, budayanya
pun sangat baik untuk dijadikan introspeksi
dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak dapat dipungkiri bahwa
generasi muda di Indonesia hanya segelintir yang berminat terhadap kumpulan
cerpen ini. Pasalnya, untuk dijadikan sebuah materi di sekolah pun guru yang
ingin muridnya mengkaji kumpulan cerpen ini haruslah benar-benar memahami
segala kandungan yang ada pada kumpulan cerpen ini.
Sehingga ketika membacanya
pun, baik guru atau pun muridnya, haruslah membacanya berkali-kali agar dapat
memahami setiap kandungan cerita yang ada pada kumpulan cerpen ini. Maka tentu
sudah jelas bahwa banyak dari mereka enggan untuk membaca secara berulang-ulang.
Mereka berpikir, hal tersebut hanya membuang-buang waktu saja dan disamping itu
mereka merasa bosan serta kurang berminat, ditambah dengan ejaan yang digunakan
pun menggunakan ejaan lama.
Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu)
Berbeda dengan angkatan
kumpulan cerpen yang disuguhkan oleh angkatan 2000 dengan judul Jangan
Main-Main (dengan Kelaminmu) karya Djenar Maesa Ayu. Walau terdengar saru dan tabu dengan melihat sekilas
dari judulnya saja yang frontal, sudah banyak generasi muda yang tertarik untuk
membacanya. Padahal gaya bahasa Djenar sungguh pelik.
Memang gaya bahasanya
yang khas itulah yang membuat sebagian orang mencintainya. Dimana efek
keseluruhannya sama sekali tidak seperti cerpen-cerpen biasa, misalnya dengan
mengandalkan pengulangan satu fakta dari paragraf ke paragraf. Rumit, hanya
dari kerumitan inilah yang dirasa minus oleh generasi muda masa kini.
Selebihnya, walau karya-karya Djenar terbilang rumit jika dikomparasikan dengan
teenlit-teenlit yang ada, generasi
muda di Indonesia akan tetap membaca kumpulan cerpen ini hingga habis, tidak
seperti kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami yang hanya dibaca beberapa cerpen.
Dari sinilah dapat
disadari bahwa generasi muda Indonesia masa kini cenderung menyukai dan
berminat terhadap sesuatu yang dari packagingnya (judul) saja sudah membuat penasaran
dan seperti memiliki daya kekuatan yang menarik hati karena sesuatu tersebut
berbeda dari biasanya, tidak klise.
Karena pada faktanya, sastra masa kini yang
diminati oleh generasi muda Indonesia adalah karya sastra yang bergaya bahasa
ringan, walaupun alurnya mudah ditebak namun mampu memberikan kontribusi
semangat, perjuangan hidup, perjuangan cita-cita, dan inspiratif.
Selain dari sudut
pandang di atas, dengan gaya bahasanya yang khas penuh eksperimental dan
inovatif, Djenar juga selalu menyingkap sisi kehidupan yang ditabukan oleh
masyarakat Indonesia selama ini dengan berbagai mitos-mitos kunonya disetiap
kumpulan cerpen miliknya. Sehingga generasi muda yang membaca kumpulan cerpen
ini seperti terusik dan merasa tertampar oleh cerpen-cerpen yang disajikan.
Bahkan dari kumpulan cerpen inilah eksistensi sastra di kalangan generasi muda
telah terpengaruh oleh dampak globalisasi yang menjadi mediasi terbukanya berbagai
batas terlarang di masyarakat kita untuk ditatap dan ditampakkan. Dengan hal
itu, generasi muda di Indonesia pun mengalami perubahan-perubahan kognitif dan
kebutuhan yang pada akhirmya akan membentuk nilai-nilai baru mengenai hal-hal
yang bermakna bagi hidupnya.
Agar Minat Baca Tumbuh pada Generasi Muda
Akhirnya kita bisa
mengambil suatu kesimpulan bahwa minat generasi muda terhadap karya sastra bisa
dilihat dari cara penyampaiannya (gaya bahasa, tata bahasa, alur) mempengaruhi
minat pembaca generasi muda Indonesia masa kini.
Di samping itu, hal yang
mempengaruhi minat baca generasi muda Indonesia masa kini juga tidak hanya
melingkupi gaya bahasa atau estetik yang indah dan mengasyikan saat membacanya, tetapi juga melahirkan perenungan
yang bisa diambil etik akademiknya walaupun hal itu terlihat tabu di masyarakat
Indonesia.
Atas dasar kesimpulan di
atas, diharapkan generasi muda Indonesia perlu untuk menumbuhkan rasa minat
terhadap karya sastra lama seperti minat mereka ketika membaca karya sastra
baru. Jika generasi muda Indonesia semakin hari semakin sedikit yang membaca
bahkan mengkaji karya sastra lama, maka karya sastra lama sebagai salah satu
warisan bangsa pun akan hilang termakan waktu.
Selain kajian sastra,
lingkungan pun dapat dijadikan mediasi untuk meningkatkan minat baca generasi muda
Indonesia. Lingkungan yang tenang dan nyaman akan membuat generasi muda
Indonesia merasa nyaman untuk membaca. Itulah sebabnya mengapa di lingkungan
perpustakaan diupayakan untuk menjaga kenyamanan dan kebisingan.
Di samping
lingkungan perpustakaan, lingkungan rumah pun wajib dijadikan sebagai mediasi
menumbuhkan minat membaca generasi muda Indonesia. Contoh konkritnya adalah
dengan membiasakan anak usia dini untuk mengenal apa yang dinamakan buku dan
membiasakan membaca.
Orang tua juga perlu bercerita terhadap buku yang
dibacanya kepada si anak. Hal ini harus dilakukan secara berulang dan terus
menerus dengan harapan akan membentuk kepribadian yang kuat dalam diri si anak.
Sehingga ketika ia dewasa dan menjadi generasi penerus di Indonesia,
dipandangannya membaca bukanlah lagi sebuah hobi, melainkan suatu kebutuhan.
Karena jelas sekali, dewasa ini, perkembangan teknologi yang melaju pesat
memudahkan semua orang untuk mendapatkan pengetahuan apa yang dia inginkan. Itulah
sebabnya, orang tua harus mendidik anaknya sejak usia dini untuk menumbuhkan
minat baca si anak agar ia tak bergantung terhadap segala sesuatu yang serba
instan.
Namun, pengembangan
minat baca generasi muda Indonesia tidak bisa berjalan jika semua pihak tidak bersatu dalam mengupayakannya.
Untuk itu, sangat diharapkan sekali apabila pemerintah, kalangan swasta,
pustakawan, dunia pendidikan, orang tua, pecinta buku, maupun berbagai
masyarakat menjadi satu bersama-sama berusaha untuk saling melengkapi dari apa
yang kurang dan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan bersama yaitu
dengan mencerdaskan bangsa melalui generasi muda Indonesia dengan tetap terus
menumbuhkan minat baca di sepanjang zaman.
Jangan pernah berhenti untuk berfikir "out of the box". Jangan pernah berhenti di jurnal atau karya ilmiah. Cobalah lebih memperluas cakrawala...
BalasHapus