Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
gambar banner

Ini yang Saya Lakukan selama Social Distancing


Setelah kasus Covid 19 di Indonesia terus bertambah, akhirnya pemerintah menghimbau masyarakat untuk sebisa mungkin beraktivitas di luar rumah seperlunya. Pekerja kantoran kemudian bekerja dari rumah atau #workfromhome, begitu juga dengan pelajar dan mahasiswa, homeschooling juga dilakukan untuk menekan laju penyebaran virus Corona yang saat ini menjadi pandemi. Orang-orang yang tidak bisa bekerja maupun beraktivitas dari rumah tetap menjalankan aktivitasnya dengan berusaha untuk melakukan physical distancing atau menjaga jarak dengan individu lainnya minimal 1-2 meter jika memang harus berinteraksi, tidak bersentuhan secara fisik seperti bersalaman, menggunakan alat pelindung diri sewajarnya seperti masker non medis dan hand sanitizer.


Tak ketinggalan dengan ibu rumah tangga apalagi bagi stay at home mom yang tentu sebelum pandemi ini ada sudah lebih sering beraktivitas #dirumahsaja atau beraktivitas dari rumah. Yang berbeda hanyalah kali ini para ibu harus berusaha untuk mencoba di rumah saja selama 14 hari. Jika ingin sesuatu sebisa mungkin menitip pada anggota keluarga yang tidak bisa beraktivitas di rumah saja, jika tidak ada yang keluar sama sekali atau urusan tersebut memang harus ibu yang memegang kendali, barulah ibu akan keluar rumah.


Akhirnya, inilah cerita Saya sebagai seorang ibu yang tentunya dengan segala kesibukan yang Saya lakukan selama berusaha untuk #dirumahsaja dalam rangka social distancing atau menjaga jarak dan kontak agar dapat menekan laju penyebaran Covid 19.


Awalnya saat kasus penderita positif Covid 19 masih berkisar puluhan, Saya masih berada di Jakarta dan menjalani Long Distance Marriage bersama suami. Tetapi karena banyak pertimbangan, akhirnya suami meminta Saya untuk menyusulnya menetap untuk beberapa bulan di Samarinda bersama keluarga dari pihak suami yang lainnya. Akhirnya Saya bersama Kafa pun berangkat H+2 setelah WHO mengumumkan status Covid 19 dari wabah menjadi pandemi.


Namanya hidup berumah tangga apalagi seatap dengan banyak kepala, terkadang ada saja perasaan yang kurang menyenangkan yang membuat Saya agak malas menyusul suami. Tetapi karena Saya sadar hidup itu butuh berproses begitu juga dengan "ikhlas menerima takdir" dan mencoba menjalaninya, akhirnya Saya memilih untuk melalui proses ini. Ya, Saya yakin semua ini pasti ada hikmahnya.


Ternyata, baru sampai Samarinda 3 hari, pemerintah menghimbau untuk beraktivitas #dirumahsaja. Akhirnya "perasaan-perasaan kurang menyenangkan yang menghinggapi pikiran Saya" berubah menjadi sebuah kesalingan, saling jaga tentunya. Saya dan anggota keluarga perempuan di rumah berusaha untuk #dirumahsaja dengan mengoptimalkan waktu yang ada karena memang anggota keluarga kami yang laki-laki tidak bisa melakukan #workfromhome selama 24 jam. Apa yang bisa mereka kerjakan di rumah, mereka lakukan. Jika mau tidak mau harus keluar rumah, mereka (mulai peduli) untuk menggunakan alat pelindung diri dan melakukan physical distancing serta tidak berlama-lama berada di luar rumah jika urusan sudah terselesaikan. Mereka pula yang berbelanja ketika bahan sembako di rumah habis.

Akhirnya pandemi ini perlahan mencoba merubah banyak hal khususnya Saya tentunya. Saya yang biasanya lebih cuek, masak se-ala-kadarnya, bebenah rumah sesuka dan sesempatnya, habis shubuh kalau masih 5 watt terkadang tidur kembali, perlahan mulai Saya rubah. Ya tentu bukan karena pandemi juga, lebih spesifiknya karena tidak enak dengan mertua yang selalu bangun pagi. Dulu-dulu Saya sering mengeluh tentang perbedaan ini. Tentang Saya yang berfikir bebenah rumah kan bisa kapan saja tidak harus pagi hari berbeda dengan mertua yang mempunyai prinsip perempuan harus bangun pagi hari, dapur ngebul dan rumah rapi. Jadi (dulu) kalau pun Saya harus mengerjakannya, sering kali Saya sering menggerutu yang pada akhirnya membuat Saya merasa lebih sering lelah hati setelah lelah fisik.

Tapi kini (setelah menuju 3 tahun pernikahan), pelan-pelan Saya mencoba menerimanya sebagai bentuk pengabdian terhadap beliau. Mau sampai kapan tidak sepaham hanya karena hal-hal patriarki ini? Akhirnya Saya melakukan hal yang bisa Saya lakukan tanpa harus mengeluh. Mencoba melakukannya setiap hari dan jika gagal atau ada hal yang kurang mengenakan hati berusaha untuk tidak mengeluh dan berharap hari esok Saya bisa melakukan hal yang lebih baik daripada hari sebelumnya. Mencoba melakukannya bukan karena ingin dianggap mantu idaman yang baik dan berbakti (karena level ini sepertinya sangat tidak mudah untuk diraih), lebih karena ingin ikut meringankan beban pekerjaan domestik yang Saya awali dengan kata bismillah disetiap Saya mulai mengerjakan pekerjaan domestik yang sering beliau lakukan. Toh lagi pula pekerjaan ini tidak seratus persen saya kerjakan sendirian alias dikerjakan oleh tiga perempuan dewasa (termasuk saya). Mudah-mudahan lelah ini menjadi lillah.

Ya, dan inilah yang Saya lakukan selama pandemi ini berlangsung, bangun saat shubuh atau sebelum shubuh. Kemudian jika anak Saya terbangun dan masih mengantuk Saya akan menyusuinya dan keturon alias ikut ketiduran sampai pagi (bangun-bangun rumah sudah rapi Saya jadi merasa tidak enak tapi mau bagaimana lagi). Tetapi jika tidak, Saya akan berusaha untuk tadarus, menyelesaikan tanggung jawab Saya yang sekaligus Saya niatkan untuk muqoddaman ibu-ibu pengajian baik JMQH, Alumni Krapyak, Alumni Pandanaran. Setelahnya Saya mulai membantu beliau melakukan pekerjaan domestik, ya mencuci piring, menyapu, ngepel, mencuci dan menjemur pakaian, serta membuat sajian untuk sarapan dan makan siang. Tentunya Saya melakukannya bersama kakak ipar yang pertama dan mertua. Pastinya kami mengerjakan ini semua disertai dengan anak yang menangis, anak minta ini, minta itu, anak minta ditemani, anak minta bantuan saat mengerjakan tugas sekolah, dan masih banyak printilan terkait anak tentunya.

Kalau tahap itu sudah selesai semua, sehabis dzuhur dan makan siang, Kami beristirahat. Terkadang tidak bisa karena anak-anak masih ingin bermain atau melakukan aktivitas yang mereka sukai. Terkadang jika anak mengantuk, Saya pun senang akhirnya bisa keturon dengan aman sentosa *LOL. Tetapi jika Saya yang tidak mengantuk, Saya menggunakan waktu emas ini untuk membuka gawai maupun laptop. Tidak jarang Saya mengikuti kuis online juga kuliah whatsapp. Kalau waktunya memungkinkan, Saya akan memulai mengerjakan project mandiri yang jauh-jauh hari saya kerjakan dan terbengkalai, yaitu membuat giant family tree. Finally, Saya bisa juga memakai corel draw setelah sekian lama ingin sekali bisa mendesain apapun secara mandiri, ya walaupun tetap namanya baru belajar jadi pasti ada satu dua tiga kali (jadi banyak *LOL) minta tolong ke suami.

Jika waktu Ashar tiba, Saya dan kakak ipar akan kembali menemani mertua menyiapkan makan malam, mengangkat jemuran, dan mencuci piring setelah sholat Ashar. Beruntungnya, suami Saya masih mau membantu Saya untuk memandikan anak kami, jadi ketika Saya di dapur dan anak Kami belum mandi, suami yang akan menemani anak Kami mandi. Biasanya kegiatan ini berakhir sampai Maghrib. Ketika Maghrib tiba, Saya lebih senang jika sehabis sholat Maghrib bisa berlama-lama menunggu adzan Isya' sambil tadarus. Baru setelah sholat Isya' Saya makan malam sambil mengawasi anak-anak bermain. Jika sudah lelah baru Saya beristirahat, biasanya sekitar jam 12 kurang lebihnya.

Terkadang Saya juga merasa bosan #dirumahsaja, tapi mau bagaimana lagi? Mau keluar rumah ngapain? wong di sini Saya tidak punya kenalan selain keluarga, lagi pula masih ada anak yang menyusu yang masuk kategori rentan terkena Covid 19. Ketika ada waktu dan ada millenial games yang bisa Saya ikuti, maka Saya ikut bermain. Misalnya permainan Panggil Namaku, akan kusebutkan 5 fakta tentangmu atau permainan yang lainnya dan sejenis. Tetapi dari permainan ini, ada hikmah yang bisa Saya ambil setelah mendapatkan "pendapat orang tentang 5 fakta" yang mereka sebutkan. Misal ketika Saya mendapatkan penilaian dari seorang teman bahwa katanya Saya adalah seorang extrovert, ada lagi yang bilang bahwa Saya adalah orang yang liar seliar tulisan Saya, ada juga yang bilang Saya senang main (bolang) tetapi target saya banyak yang tercapai, dan yang paling manis ada yang mengganggap bahwa Saya adalah role model dalam hidupnya.

Dari sini Saya semakin banyak belajar dan mencoba untuk perlahan namun pasti, Saya akan terus memulai proses baru untuk menghilangkan jejak-jejak penilaian yang kurang baik di dalam hidup Saya. Dan berkat kegiatan a sampai z ini, Saya akhirnya berhasil #diamdirumahsaja, benar-benar tidak kemana-mana dan sudah berlangsung di rumah saja selama tiga pekan terakhir. Kegagalan-kegagalan yang pernah Saya lakukan di hari-hari sebelumnya dan mempengaruhi mood, akhirnya Saya review dan solusinya Saya membuat jurnal harian untuk meminimalisir "kegagalan serupa" and it's works! Berkat hari-hari yang Saya lalui ini pula, akhirnya tulisan ini pun dimuat disini.

Terima kasih sudah membaca, mohon maaf apabila ada banyak kekhilafan dalam tulisan ini. Tulisan ini saya tulis dalam rangka meramaikan minggu tema komunitas #1minggu1cerita dengan tema JARAK. Stay safe, stay home, and keep healthy. Semoga tulisan ini bermanfaat dan silahkan tinggalkan jejak terbaik di kolom komentar ya :)



komunitas blogger
Minggu Tema #15: JARAK

Karimah Iffia Rahman
Karimah Iffia Rahman Seorang ibu alumni Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta dan Kebijakan Publik SGPP Indonesia. Karya pertamanya yang berhasil diterbitkan berada dalam Buku Antologi Menyongsong Society 5.0. Sebagian pemasukan dari artikel berbayar pada blog ini disalurkan untuk pendidikan anak-anak yatim dan duafa. Untuk bekerjasama, dipersilahkan menghubungi via iffiarahman@gmail.com

7 komentar untuk "Ini yang Saya Lakukan selama Social Distancing"

  1. Hidup seatap dengan suami itu emang butuh perjuangan batin, belum lagi dengan ruang gerak yang terbatas disaat isolasi pula, aduh.. kalo saya dulu, hikmahnya punya temen ngobrol di dalam rumah, gak kesepian kalo pas suami gak ada, kalo ada apa2 ada yg bantuin, karena kan anak masih kecil, dan kesempatan untuk mengenali karakter keluarga suami, jadi kita bisa tau kedepannya harus bertindak bagaimana dan seperti apa. Dan berhubung udah lama berlalu, yg negatifnya gak diambil hati, namanya sama2 manusia. Mungkin suatu saat kita yg ada di posisi mereka.😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaa bener banget kak, dari sini juga saya semakin banyak belajar, namanya juga hidup ya kak, pasti berproses . Terima kasih atas masukannya ya kak :)

      Hapus
  2. stay safe and stay healthy, everyone :D

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah saya menikmati sekali WFH ini. Saya dokter, baru melahirkan, jadi kebetulan saat WFH ini, yang harusnya saya turun ke medan perang, saya malah bergabung dengan golongan WFH krn bertepatan dg cuti melahirkan. Dan berada di tengah2, yg bisa melihat dua sisi kubu - WA saya ramai dg WAG2 isi teman2 non medis yg mengeluh harus terisolir di rumah dan WAG2 dr komunitas medis dan kantor yg isinya bbrp waktu kmrn sempet innalillahi terus. Saya bersyukur sy bs di rumah. Alhamdulillah dengan dua anak, 1 newborn 1 toddler, dan suami yg ttp masuk kerja (krn ranah tmpat beliau bekerja bukan tipe yg bs WFH) tanpa siapa2 membantu di rumah.. Wah ma sha Allah. Awal2 juga pusyingg hihi Lama2.. Aku mau di rumah terus rasanya hahaha Ga siap meninggalkan anak2 hahaha aduh. Rumput tetangga mmg selalu lbh hijau. Semangat ya Mommy �� Salam kenal ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mom betul, selalu ada yang bisa disyukuri dalam kejadian apapun seperti mom yang sedang bahagia atas kelahiran buah hati yang keduanya, selamat ya mom semoga tumbuh menjadi anak yg berbakti :)

      Hapus
  4. Kalau aku lebih banyak stresnya hehe karena kebiasaan kesana kemari, maklum orang lapangan suka banget jalan. huhu. Tapi akhirnya harus ditahan dulu sampai pandemi selesai

    BalasHapus