Ketika Ayah Engkong Berpulang
Kenangan Manis Kafa Bersama Engkong |
Ketika Ayah Engkong Berpulang
Mungkin dari sekian banyak tulisan yang bersinggungan dengan Ayah Engkong, ini adalah tulisan yang sebenarnya tidak mau saya tulis tetapi harus saya tulis. Mengapa? Karena dalam tulisan ini banyak penyesalan-penyesalan yang saya lalui dan semoga dengan adanya tulisan ini, saya bisa mengambil hikmahnya dan belajar untuk tidak mengulang hal yang sama di kemudian hari.
Saya sadar bahwa hidup dan meninggalnya setiap manusia sudah digariskan oleh Tuhan, tetapi kepergian Ayah yang juga Engkongnya Kafa 6 September 2020 lalu membuat saya harus menata diri menata hati. Menerima takdir bahwa secepat itu beliau kembali kepada Allah. Ada banyak penyesalan dan perasaan kehilangan tentu. Apalagi takdir ini harus terjadi ditengah pandemi.
Tertutupnya Pintu Ilmu
Sewaktu beliau berpulang, hal yang banyak saya sesalkan adalah tiada lagi ayah sekaligus teman berdiskusi dalam hal keilmuan apapun. Sepanjang perjalanan menulis yang saya lalui, beliau selalu memiliki peran penting dalam kegiatan ini. Apalagi jika mengingat bahwa beliau adalah guru yang mengajarkan saya menulis baik membuat proposal kegiatan maupun tulisan non-fiksi.
Beliau selalu terbuka dan memberikan masukan jika saya stuck kehabisan ide ataupun mengalami keterbatasan tinjauan pustaka terlebih jika berkaitan dengan Ulumul Qur'an wal Hadits. Setiap kali saya tidak tahu akan suatu hadits yang berkaitan dengan ayat al-Qur'an, saya langsung bertanya kepada beliau, "Ayah, hadits tentang bab ini (misal toleransi) apa yah?". Seketika beliau akan memberikan jawabannya seperti kamus hadits berjalan.
Tak perlu repot membuka kitab ataupun mencari sumber paling valid di mesin pencarian google. Kini hal tersebut tidak akan ditanyakan padanya lagi entah sampai kapan. Saya pun tak lagi balik ditanya olehnya, "Ima, tolong carikan ayat al-Qur'an tentang haji ya, sekarang?!". Jangan kira saya seperti beliau yang tanpa mesin pencari langsung menjawab. Saya hanyalah seorang anak kekinian yang menjawab pertanyaan-pertanyaannya dari aplikasi yang terinstal di gawai.
Curang!
Kehilangan Momen Berlebaran
Sepekan setelah beliau pergi, baru saya sadari kebodohan saya selama ini. Semenjak menikah, belum pernah sekalipun saya berlebaran bersama beliau. Artinya lebaran terakhir bersama beliau ada pada tahun 2017 tepat sebelum saya menikah. Tahun berikutnya saya diminta untuk tidak pulang ke Jakarta karena jika saya pulang ke Jakarta bersama suami, maka tidak ada laki-laki di Magelang. Tetapi jika saya pulang sendiri, kondisi saat itu sedang hamil 3-4 bulan.
Berlalu begitu saja. Malah ayah mengajak keluarga di Jakarta untuk berliburan lebaran di Magelang. Otomatis saya senang bukan main atas inisiatif beliau. Kemudian di tahun 2019 terjadi lagi untuk kedua kalinya. Saya tidak bisa berlebaran karena suami meminta untuk berlebaran bersama keluarga besar di Samarinda.
Sebenarnya saya agak kecewa, tetapi ayah berbesar hati. Mengingatkan saya bahwa setelah dari Samarinda, kami sekeluarga bersama Forsima (Forum Silaturahmi Ulama Se-Tambora) akan berziarah ke makam para wali mulai dari Jawa Barat hingga ke Pulau Dewata. Maka saya pun mengiyakan permintaan suami dan berlebaran cukup lama di sana. Menunggu bunda pulang umrah lalu berliburan di Balikpapan. Setelah itu akhirnya saya bertemu dengan ayah dan juga keluarga lainnya di Jakarta.
Selama seminggu kami melakukan perjalanan dari makam ke makam. Mencoba merekam kenangan di setiap momennya. Tak disangka perjalanan ini menjadi perjalanan terakhir bagi kami sekeluarga bersama beliau. Bahkan di momen ini pula suami saya terakhir kali bertemu dengan beliau. Terakhir setelah berziarah di bulan Juli, saya pun akhirnya kembali ke Jakarta pada bulan November.
Cukup lama saya berada di Jakarta saat itu. Bahkan ada tetangga yang nyinyir karena saya terlalu lama di Jakarta tanpa ada suami yang menemani. Bu Tejo memang relate di kehidupan nyata. Meski cukup lama, namun suami meminta saya untuk menemaninya di Samarinda. Artinya saya harus berpisah dengan beliau sebelum lebaran tiba.
Lalu Corona pun menyerang! Beliau sedih ketika tahu bahwa saya akan ke Samarinda sebelum bulan puasa. Bahkan beliau sempat meminta saya untuk di Jakarta saja sampai lebaran. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, saya sudah berada di Samarinda dan lockdown pun dilaksanakan. Penerbangan ditiadakan. Setiap beliau bertanya kapan pulang dan berlebaran di Jakarta, saya selalu tidak bisa memberikan jawaban yang pasti.
Hal tersebut terus berlangsung bahkan ketika lebaran Idul Adha tiba. Pertanyaan yang beliau ajukan pun masih sama, kapan pulang ke Jakarta. Akhirnya setelah sekian banyak pertanyaan kapan pulang ke Jakarta, saya pun datang ke Jakarta setelah ada niat yang kuat untuk pulang dan semesta mengamini. Sejujurnya tiket sempat dan sudah saya batalkan, tetapi entah kenapa ternyata tiket masih berlaku dan akhirnya saya pun terbang ke Jakarta.
Beliau sangat senang dengan perpulangan saya kali ini. Apalagi ketika saya pulang beberapa hari kemudian kami sekeluarga merayakan ulang tahun beliau pada 5 Agustus 2020 yang ternyata momen tersebut menjadi momen penutup bagi kami untuk merayakan ulang tahun bersama beliau. Beberapa hari kemudian beliau sakit dan setelah dirawat secara intensif sejak 17 Agustus 2020 beliau akhirnya berpulang tepat ketika Kafa berusia 22 bulan pada 6 September 2020.
Menjawab Takdir yang Dipungkiri
Semenjak berpulangnya Emak Haji (sebutan untuk nenek saya dari Ibu), saya selalu berusaha untuk berlari menuju anak-anak tangga yang biasanya memiliki momen selebrasi. Wisuda, Khotmil Qur'an, Menikah, dan beberapa selebrasi sejenisnya saya capai diusia muda. Hal itu karena saya tidak ingin mengalami perasaan hampa dalam hal-hal ini untuk yang kedua kalinya. Tetapi ada hal yang saya abaikan meski pencapaian-pencapaian ini saya raih dan didampingi oleh ayah.
Ayah saya selalu meminta saya untuk meneruskan apa yang selama ini beliau tekuni. Beliau selalu ingin saya tidak pergi mengingat saya adalah anak yang paling sering melalang buana nun jauh dari rumah. Beliau selalu ingin saya menetap bersama beliau baik di Jakarta ataupun di Majalengka. Sewaktu beliau tahu bahwa saya ingin melepas pekerjaan saya di Jakarta setelah menikah, beliau bilang, "ldr saja sama suami, jangan menutup pintu rezeki. Nanti biar Alfath yang sebulan sekali ke Jakarta".
Karena saya yakin bahwa rejeki itu min haitsu la yahtasib atau datangnya dari manapun (tak terduga), maka saya meyakini beliau bahwa pasti akan ada rejeki yang lain dari Allah. Lalu setiap beliau meminta agar saya di Jakarta saja atau tinggal di Majalengka saja, saya hanya terdiam. Ketika itu saya belum menjawab permintaannya. Saya masih berharap ada anak ayah yang bisa melakukan hal itu selain saya. Tetapi ternyata lagi-lagi beliau mengajukan pertanyaan yang sama pada saya.
Bahkan permintaan yang terakhir beliau beri gambaran detailnya. Ayah bilang jika saya tinggal di Majalengka, beliau nanti akan mengunjungi saya seminggu sekali untuk membuka pengajian di sana sambil sementara waktu beliau tetap mengajar ngaji dan bekerja menjadi abdi negara di Jakarta. Saya tahu, pada akhirnya ketika beliau berpulang, saya hanya mengulur-ulur waktu. Saya hanya mencoba untuk memungkiri takdir, tetapi takdir ini selalu hadir menanti karena ia telah digariskan oleh-Nya.
Sekarang, semenjak kepergian ayah, meski saya belum yakin bisa menjawab dan merealisasikan permintaannya, tetapi kini saya ingin mencobanya. Berdamai dengan takdir yang selama ini selalu dipungkiri namun sesungguhnya ada di depan mata. Semoga saya bisa istiqomah dan diberi kesabaran serta keuletan yang luar biasa dari gusti Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aamiin...
Semoga ayah husnul khatimah dan tenang berada disisiNya. Sedih sekali memang. dilema setelah menikah itu bahkan utk menemani orangtua saja harus didiskusikan terlebih dahulu.
BalasHapusMeski Ayahnya sudah tiada, semoga karimah bisa menjalankan apa yang dimintanya yaa. Sehat selalu sekeluarga di sana *hug
Alfatihah..
BalasHapusMasyaAllah, sosok ayah engkong sungguh luar biasa ya bu. Semoga segera bisa mengambil keputusan yang terbaik ya bu. Kalau saya juga pasti bimbang tujuh keliling, Ya Allah.. Semangat ibu Kafa. Sehat selalu untuk keluarga *hughug
Al Fatihah...
BalasHapusSemoga alm. Ayahanda ditempatkan di tempat terbaik di sisi Allah SWT.
Masya Allah, bersyukur almarhum punya anak seperti neng.
Semoga sekarang tinggal di Jakarta lagi bisa merealisasikan apa yang diminta almarhum ya.
Turut berduka cita ya Mbak Iffia...semoga amal almarhum diterima Allah Ta'ala..masyaAllah ayah engkong luar biasa sekali ya hapalannya. semangat meneruskan perjalanan hidup ibukafa..semoga ridho atas semua ketetapan Allah...
BalasHapusTurut berduka mbak, semoga almarhum diterima ama ibadah dan segala kebaikan serta ditempat ditempat yang paling baik. Semoga juga mbak dan keluarga diberikan kekuatan serta ketabahan
BalasHapusAamiin ya rabbal aalamiin. Rasanya ketika orang tua berpulang, kita jadi diingatkan kembali ya tentang betapa kurang maksimal kita mengabdikan diri. Apalagi kadang juga kita harus memilih antara keinginan dan kebutuhan suami dengan keinginan kita untuk secara fisik birrul walidain. Semoga Allah meridhai pilihan yang sudah kita ambil dan menjadikannya pemberat kebaikan, ya.... Alfatihah untuk Ayah Engkong.
BalasHapusAlfatihan, mba Iffi tetep semangat ya, aku aja yang masih ada ayah tapi kehilangan sosoknya sejak SMA. Memang ya ujian tiap orang berbeda. Semoga kita semua diberikan ketabahan, dan orang-orang yang kita sayangi selalu diberikan kebahagian. Semangat
BalasHapusturut berduka ya bu kafa untuk kepergiaan engkongnya kafa.
BalasHapusaamiin Ya Allah. semangat bu kafa insyaallah semua sudah di takdirkan dan ada hikmahnya. semua pasti akan merasakan kesedihan yah saat di tinggalkan.