Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
gambar banner

Begini Cara Hukum Menyikapi Patriarki dalam Budaya Batak

Begini Cara Hukum Menyikapi Patriarki dalam Budaya Batak
Begini Cara Hukum Menyikapi Patriarki dalam Budaya Batak

Patriarki dalam Budaya Batak

Dewasa ini, kita kerap mendengar istilah budaya patriarki. Budaya patriarki merupakan budaya patriarki sendiri merupakan perilaku yang mengesampingkan perempuan dan mengutamakan laki-laki dalam bermasyarakat atau kelompok sosial tertentu di berbagai aspek kehidupan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Aspek kehidupan ini mulai dari kepemimpinan, politik, hak sosial, moral, penguasaan properti hingga pernikahan dan masih banyak lingkup lainnya. Dalam budaya patriarki, harta tahta dan wanita kerap berada dalam kekuasaan laki-laki.

Di Indonesia sendiri budaya patriarki masih sangat mengakar apalagi di beberapa wilayah maupun masyarakat yang teguh memegang tradisi adat istiadat. Salah satunya adalah tradisi dan budaya Batak yang konon kental dengan budaya patriarki. Hal ini bisa dilihat dari silsilah kekeluargaan masyarakat Batak yang mewariskan marga kepada keturunan laki-laki.

Begini Cara Pakar Hukum Menyikapi Patriarki dalam Budaya Batak

Menggandeng Ina Rachman sebagai narasumber talkshow terkait patriarki dalam budaya Batak, Helaparumaen dan Chathaulos didukung oleh IWITA menyelenggarakan talkshow yang berjudul “Harta Tahta dan Wanita: Patriarki dalam Budaya Batak, Peran Hukum dalam Menghadapi Budaya Batak” pada salah satu agenda Wedding Batak Exhihbition 2024 (WBE 2024) yang berlangsung 7-8 September 2024 di SMESCO Convention Hall Jakarta.

Ina Rachman

Ina Rachman atau Ina Herawati Rachman, S.H, M.Hum merupakan seorang advokat dan juga pebisnis yang telah berpengalaman lebih dari 20 tahun serta pendiri kantor hukum Maestro. Sehingga sangat kapabel berbicara tentang hal ini karena berkaitan dengan bidang yang ditekuninya.

Menurut Ina, adat Batak merupakan adat yang sangat unik. Ditemani oleh Martha Simanjuntak selaku founder Chathaulos, menurut Ina menjadi warga negara Indonesia adalah suatu hal yang luar biasa sehingga Indonesia pun kerap mendapatkan istilah Wonderful Indonesia karena kekayaan budayanya.

Harta Waris untuk Perempuan dalam Budaya Batak

Budaya Batak kerap dikenal lebih mendominasi laki-laki. Perempuan bahkan tidak memiliki hak waris. Pun ketika menikah, perempuan Batak biasanya akan mengikuti nama marga suaminya bukan lagi menggunakan marga dari ayahnya.

Namun berdasarkan hukum yang ada di Indonesia, perempuan dapat memiliki hak waris. Inilah yang pada akhirnya dapat sedikit demi sedikit menghilangkan budaya patriarki di dalam budaya Batak.

“Jika pun perempuan Batak mendapatkan waris dari orangtuanya, itu bukan karena hukum waris tetapi karena rasa kasih sayang antara orang tua kepada anaknya. Jika pun mendapatkan waris dari suami, istilah yang digunakan bukanlah waris sebagaimana yang berlaku dalam hukum waris melainkan karena pembagian harta gono gini.” jelas Ina.

Harta untuk perempuan dalam budaya Batak pada masa kini secara hukum dikembalikan lagi kepada pihak yang bersangkutan, terutama untuk perempuan Batak yang menganut agama Islam.

“Apakah ingin menggunakan hukum waris secara Islam sesuai dengan pembagian yang berlaku, atau ingin dibagi sama rata atau menggunakan hukum positif yaitu hukum yang berlaku di wilayah tertentu pada waktu tertentu. Hal ini dikarenakan hukum waris yang bersifat mengatur dan bukan hukum pidana.” tutur Ina.

Ketiga hukum ini dianggap sah selama disepakati oleh seluru ahli waris. Berdasarkan hukum, tidak diperkenankan memaksakan suatu hukum misal harus menggunakan budaya Batak dalam pembagian waris selama pihak-pihak terkait terutama perempuan Batak memahami persoalan yang sedang dihadapinya dan berani mendobrak praktik budaya patriarki yang merugikan perempuan Batak.

Seiring dengan perkembangan zaman, budaya pembagian waris yang dinilai patriarki ini pada akhirnya perlahan ditinggalkan oleh masyarakat Batak yang memberikan waris dalam bentuk emas atau perhiasan kepada anak perempuannya. Terlebih berdasarkan penuturan Martha, budaya Batak saat ini juga memberikan keleluasaan waris kepada anak perempuan melalui surat wasiat.

Hal ini lah yang perlu masyarakat luas tahu sehingga kehadiran Wedding Batak Exhibition 2024 menjadi sebuah platform yang positif untuk mengenal dan melestarikan budaya batak kepada masyarakat luas khususnya kepada para pengunjung pameran.

Selain itu, dengan adanya praktik budaya patriarki, saat ini juga banyak perempuan Batak yang akhirnya memutuskan untuk menikah dengan laki-laki dari suku lain. Apalagi kini dalam budaya Batak sendiri ada budaya pemberian marga untuk pengantin yang tidak memiliki marga kerena bukan berasal dari suku Batak.

Pemberian marga ini biasanya diberikan oleh orang tua angkat. Namun dalam budaya Batak sendiri, meskipun anak angkat, namun ketika anak tersebut sudah satu marga, biasanya ia akan tetap mendapatkan waris sesuai dengan pembagian yang berlaku.

Tahta Perempuan dalam Budaya Batak

Kemudian dalam hal tahta, Ina mengibaratkan istilah tahta ini sebagai karir dalam tradisi pernikahan. Dalam budaya patriarki, biasanya setelah perempuan menikah, maka perempuan akan lebih diminta untuk mendominasi mengerjakan pekerjaan domestik.

“Beruntungnya kini dalam budaya Batak hal seperti ini mulai terkikis sehingga peran dalam rumah tangga pun bergantung pada kesepakatan kedua belah pihak baik suami maupun istri. Namun tentu menghapus budaya patriarki sangat sulit terlebih untuk wilayah di daerah yang masih memegang teguh adat istiadat.” jawab Martha saat menanggapi sahabatnya yang juga seorang pengajar lepas untuk pengawas pegawai negeri sipil baik di Departemen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PTKN) maupun Departemen Perdagangan dan Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri).

“Apalagi saat ini sudah banyak orang tua Batak yang meminta anak-anaknya berpikiran maju dan mendorong anak-anaknya untuk merantau ke berbagai wilayah baik di dalam maupun di luar Indonesia agar dapat kembali ke kampung halaman dan menghilangkan budaya patriarki. Meskipun tidak dapat dipungkiri terkadang respon masyarakat pun ada yang bisa menerima atau justru menolak hal ini.” lanjut Martha.

Namun tentu yang dihilangkan adalah budaya-budaya yang dianggap merugikan. Jika budaya tersebut dinilai baik, tentu oleh masyarakat tetap dilestarikan. Seperti pembagian ulos dalam pernikahan misalnya. Oleh sebab itu pernikahan Batak biasanya memakan waktu yang cukup lama dan tradisi ini tidak bisa dihilangkan.

Meski begitu, saat ini juga sudah banyak konsultan pernikahan Batak yang memberikan arahan untuk calon mempelai maupun keluarga yang ingin menikahkan anaknya dengan adat Batak secara simpel dan tidak memakan waktu yang lama. Materi ini pula yang dihadirkan dalam WBE 2024 di sesi talkshow lainnya.

Menutup sesi talkshow ini, Ina dan Martha membuka kesempatan kepada para audiens untuk berdiskusi secara langsung mengenai materi yang telah dipaparkan. WBE 2024 sungguh menjadi salah satu event untuk masyarakat agar dapat Enjoy Jakarta dengan mengenal budaya Batak lebih dekat. 

Nah, itu dia ulasan tentang Cara Pakar Hukum Ina Rachman Menyikapi Patriarki dalam Budaya Batak. Sekian, semoga ulasan ini bermanfaat.

Karimah Iffia Rahman
Karimah Iffia Rahman Seorang ibu alumni Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta dan Kebijakan Publik SGPP Indonesia. Karya pertamanya yang berhasil diterbitkan berada dalam Buku Antologi Menyongsong Society 5.0. Sebagian pemasukan dari artikel berbayar pada blog ini disalurkan untuk pendidikan anak-anak yatim dan duafa. Untuk bekerjasama, dipersilahkan menghubungi via iffiarahman@gmail.com

1 komentar untuk "Begini Cara Hukum Menyikapi Patriarki dalam Budaya Batak"

  1. Dalam penerapannya tetap masih bisa disesuaikan dengan hukum negara maupun hukum agama ya kalau begitu. Terima kasih sudah berbagi, Mom.

    BalasHapus